Malam itu dipinggiran
sudut kota Jakarta ketika menikmati suguhan nasi uduk yang mengepul
hangat pada sebuah tenda warung makan. Lalu melintas seorang ibu dengan
kedua tangannya yang kecil menarik gerobak dengan cepat menyusuri
pinggiran jalan yang telah sunyi senyap. Sejenak kebimbangan terjadi
lalu keputusan diambil dengan cepat tangan melambai dan memanggil ibu
itu sebelum menghilang di balik tikungan sebuah gang.
Ibu itu berhenti dan
dengan ragu-ragu setengah bertanya terlihat dari wajahnya yang bingung
menatapku dari kejauhan. Sekali lagi aku melambaikan tangan dan barulah
ia menghampiri kesini. Aku memesan lagi nasi uduk tiga bungkus untuk ibu
dan kedua anaknya yang tertidur pulas dalam gerobak itu. Seraut
wajahnya menunjukan kegembiraan yang luar biasa dan berkali-kali
mengucapkan terima kasih.
Kerasnya kehidupan
tampak jelas tergurat di wajahnya yang cokelat hitam berpeluh ditempa
panasnya sinar matahari. Namun wajah itu terlihat ramah dengan matanya
yang tegar dan bibirnya yang tersenyum seakan-akan tak ada kesedihan di
hatinya.
Sambil menunggu 3
potong ayam goreng yang hampir matang untuk pesanan 3 bungkus nasi
uduk tadi iseng-iseng aku bertanya kepadanya. Ibu itu bercerita bahwa
suaminya telah meninggal karena sakit yang berkepanjangan yang tidak
bisa disembuhkan disebabkan karena tak mampu untuk berobat ke dokter.
Gerobak tua ini adalah satu-satunya harta peninggalan suaminya yang
seorang pemulung. Dan kini ia sendirian dan harus terus bertahan dan
bekerja keras untuk menghidupi dua buah hatinya yang kini selalu
dibawanya kemanapun ia pergi.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar