Senin, 15 April 2013

Kisah Perjuangan dan Ketulusan Seorang Ibu





Malam itu dipinggiran sudut kota Jakarta ketika menikmati suguhan nasi uduk yang mengepul hangat pada sebuah tenda warung makan. Lalu melintas seorang ibu dengan kedua tangannya yang kecil menarik gerobak dengan cepat menyusuri pinggiran jalan yang telah sunyi senyap. Sejenak kebimbangan terjadi lalu keputusan diambil dengan cepat tangan melambai dan memanggil ibu itu sebelum menghilang di balik tikungan sebuah gang.
Ibu itu berhenti dan dengan ragu-ragu setengah bertanya terlihat dari wajahnya yang bingung menatapku dari kejauhan. Sekali lagi aku melambaikan tangan dan barulah ia menghampiri kesini. Aku memesan lagi nasi uduk tiga bungkus untuk ibu dan kedua anaknya yang tertidur pulas dalam gerobak itu. Seraut wajahnya menunjukan kegembiraan yang luar biasa dan berkali-kali mengucapkan terima kasih.
Kerasnya kehidupan tampak jelas tergurat di wajahnya yang cokelat hitam berpeluh ditempa panasnya sinar matahari. Namun wajah itu terlihat ramah dengan matanya yang tegar dan bibirnya yang tersenyum seakan-akan tak ada kesedihan di hatinya.
Sambil menunggu 3 potong ayam goreng  yang hampir  matang untuk pesanan 3 bungkus nasi uduk tadi iseng-iseng aku bertanya kepadanya. Ibu itu bercerita bahwa suaminya telah meninggal karena sakit yang berkepanjangan yang tidak bisa disembuhkan disebabkan karena tak mampu untuk berobat ke dokter. Gerobak tua ini adalah satu-satunya harta peninggalan suaminya yang seorang pemulung. Dan kini ia sendirian dan harus terus bertahan dan bekerja keras untuk menghidupi dua buah hatinya yang kini selalu dibawanya kemanapun ia pergi.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar